Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan dari empirisme.
Aliran
positivisme ini merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte yang
cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Aliran Positivisme ini
kemudian di abad XX dikembangluaskan oleh filosof kelompok Wina dengan
alirannya Neo-Positivisme (Positivisme-Logis).[1]
Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problem aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya telah melahirkan aliran Kritisisme sebagai alternatif dan solusi terhadap pertikaian dua aliran besar tersebut. Disinilah arti penting dari kemunculan Positivisme yang merupakan representasi jawaban berikutnya terhadap problem-problem mendasar tersebut.
Riwayat Hidup Auguste Comte
Auguste
Comte merupakan filosof dan warga negara Perancis yang hidup di abad
ke-19 setelah revolusi Perancis yang terkenal itu. Ia lahir di
Montpellier, Perancis, pada tanggal 19 Januari 1798. Ia belajar di
sekolah Politeknik di Paris, tetapi ia dikeluarkan karena ia seorang
pendukung Republik, sedangkan sekolahnya justru royalistis.[2]
Auguste
Comte menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif
secara langsung revolusi tersebut khususnya dibidang sosial, ekonomi,
politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui dan dialaminya
secara langsung bersama bangsanya itu, memotivaisi dirinya untuk
memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan
epistemologi dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di
dalam aliran Positivisme. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur
karena didukung oleh para elit-ilmiah dan maraknya era industrialisasi
saat itu.[3]
Comte bukanlah orang yang menyukai hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih care pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de’Saint Simon,[4]Comte
mencoba mengadakan kajian problem-problem sosial yang diakibatkan
industrialisasi. Karena ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-bidang
sosial menjadikan Comte sebagai bapak sosiologi.
Meskipun
Comte tidak menguraikan secara lebih rinci masalah apa yang menjadi
obyek sosiologi, tetapi ia mempunyai asumsi bahwa sosiologi terdiri dari
dua hal, yaitu sosial statis dan sosial dinamis. Menurut Comte, sebagai sosial statis sosiologi merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari timbal balik antara lembaga kemasyarakatan. Sedangkan sosial dinamis melihat bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang.[5]
Dasar
pemikiran Comte diperoleh secara inspiratif dari Saint Simon, Charles
Lyell, dan Charles Darwin. Selain dari itu, pemikiran Herbert Spencer
mengenai “hukum perkembangan” juga mempengaruhi pemikirannya. Kata
“rasional” bagi Comte terkait dengan masalah yang bersifat empirik dan positif
yakni pengetahuan riil yang diperoleh melalui observasi (pengalaman
indrawi), eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif diperoleh
hukum yang sifatnya umum sampai kepada suatu teori. Karena itulah maka
bagi positivisme, tuntutan utama adalah pengetahuan faktual yang dialami
oleh subjek, sehingga kata rasional bagi Comte menunjuk peran utama dan
penting rasio untuk mengolah fakta menjadi pengalaman. Berdasarkan atas
pemikiran yang demikian itu, maka sebagai konsekuensinya metode yang
dipakai adalah “Induktif-verifikatif”.[6]
Setelah
tulisan-tulisannya mulai beredar, Comte menjadi terkenal di seluruh
Eropa bahkan melebihi ketenaran “sang majikan” Henry de’Saint Simon.
Namun begitu, selama hidup ia tidak pernah diberi kesempatan untuk
mengajar di Universitas. Comte juga senantiasa hidup dalam kemiskinan.
Hal ini karena pekerjaannya sebagai pengarang dan guru pribadi tidak
cukup untuk hidup. Hanya berkat sumbangan-sumbangan pengikutnya, antara
lain dari Fiosof Inggris John Stuart Mill, ia bisa makan.[7]
Auguste Comte meninggal pada tahun 1857 dengan meninggalkan karya-karya seperti Cours de Philosophie Possitive, The Sistem of Possitive Polity, The Scientific Labors Necessary for Recognition of Society, dan Subjective Synthesis.[8]
Auguste Comte & Hukum Tiga Tahap
Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitive dapat dikatakan sebagai masterpiece-nya,
karena karya itulah yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat
juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di
dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia.
Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, ketiga, tahap positif.
1. Tahap Teologis
Pada
tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam
terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak
gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang
memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa
mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk
selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua,
tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana
seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang
melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala
memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme).[9]
Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini
dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan
spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya.[10] Ketiga,
adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa
yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.[11]
Singkatnya,
pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang
batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan
adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat
adanya maksud tertentu.[12]
2. Tahap Metafisik
Tahap
ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte.
Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir
teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan
kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda
lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum,
yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu
misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat
disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.[13]
- Tahap Positif
Pada
tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha
mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan
teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan
terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari
“segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang
berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada
fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan
dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan”
berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum.
Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun
dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.[14]
Bagi
comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan
rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu
pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah
itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi
hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu
tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi
juga individu dan ilmu pengetahuan.
Meskipun
seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga
macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan.
Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan
suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang
ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
Lebih
jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak
pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini,
ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu
pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata
dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan
penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan
mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan
tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif.[15]
Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh
dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam
kenyataan.
Demikianlah
pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya
menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa
melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Dalam
hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku
primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk
“menerangkan” kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai
prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang
digunakan metode-metode positif dan ilmiah.[16]
Positivisme Auguste Comte
Filsafat
positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada
abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan
dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari
pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang
faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang
dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa
adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta
diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat
memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.[17]
Sebenarnya,
tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat
dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme.
Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu
pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak
metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab
yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu
pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan
yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis
membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan
yang dapat dibuktikan kebenarannya.[18]
Dengan
model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba
mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama.[19] Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies
di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan.
Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu
kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan
Materialisme.[20]
Selanjutnya,
karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta
dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte
berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu
sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah
apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan
bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut
dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence)
sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk
khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti
sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil)
dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk
kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal.
Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek
ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka
tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme
Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan
dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau
penertiban.[21]
Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang
demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab
suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan
bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud.[22] Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif,
yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat
khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga
menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi,
eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif
Singkatnya,
filsafat Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia
hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan
menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu
positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir
(mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus
menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala,
agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.[23]
Filsafat
positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa
pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak
mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan
pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti
harus dikaitkan dengan suatu teori.[24]
Dengan
demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek
diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan
untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII,
positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal
bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan
lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik.
Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap
definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia
juga menolak nilai (value).[25]
Apabila
dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte
berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala
alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum
atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai
prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah
berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam
ilmu-ilmu sosial budaya.
Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory
sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti.
Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada
namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.[26]
Demikianlah
beberapa pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan perkembangan
manusia dan juga bagaimana positivisme Auguste Comte memandang sumber
ilmu pengetahuan.
Kritik Pemikiran
Positivisme
Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan
pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik.
Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada
tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada
tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam
pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna.
Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak
manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
Selain
itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu
mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur
“kebenaran”. Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan
manusia adalah bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya
merupakan kewajiban manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya
dengan “cara tertentu”.
Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran
Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber diperolehnya. Bagi Popper,
ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan
pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial and error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga “kebenaran” se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi
dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran
Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam
dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran” akan selalu mengalami proses
tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu seterusnya.
Pandangan
mengenai “kebenaran” yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan
bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut hemat
Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai
milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan
bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang
diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, “kebenaran”
selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan
dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi
seperti apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu
teori, hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan
(diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal
(difalsifikasikan)
Jelasnya, untuk menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru.
DAFTAR PUSTAKA
Maksum, Ali, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004
Wibisono, Koento, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. II, 1996
Azis, Ichwan Supandi, Karl Raimund Popper dan Auguste Comte; Suatu Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi, Yogyakarta: Jurnal Filsafat, Jilid 35, Nomor 3, Desember 2003,
Soekanto, Soejono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Deltgauw, Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
Bertens, K., Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jilid I, Jakarta: Gramedia 1981
Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983
Akhmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001
Biyanto, “Hubungan Agama dan Filsafat di Barat; Sebuah Survei Sejarah Lintas Periode” dalam http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-18.html
Lihat “Fenomenologi, Hermeneutika dan Positivisme” dalam http://veggy.wetpaint. com/page/Fenomenologi,+Hermeneutika+dan+Positivisme
[1] Ali Maksum, et.al., Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern; Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004, hlm. 77
[2] Koento Wibisono, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. II, 1996, hlm 5
[3] Ichwan Supandi Azis, Karl Raimund Popper dan Auguste Comte; Suatu Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi, Yogyakarta: Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3, hlm. 254
[4]
Henry de’Saint Simon adalah seorang bangsawan sekaligus salah seorang
filosof termasyhur di Perancis waktu itu dan Auguste Comte pernah
menjadi sekretaisnya.
[5] Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 443
[6] Ichwan Supandi Azis, Loc. Cit.
[7] Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 9
[8] Ali Maksum, et.al., Op. Cit. Hlm. 79
[9] Ibid.
[10] Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 27
[11] Ali Maksum, Loc. Cit.
[12] Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001, hlm. 117
[13] Koento Wiisono, Loc. Cit.
[14] Ali Maksum, et.al., Op. Cit. hlm. 80
[15] Bernard Deltgauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 67
[17] Asmoro Akhmadi, Op. Cit., hlm. 116
[18] Ali Maksum, et.al., Op. Cit. hlm. 82
[19] Sebagai
catatan, pada akhir hidupnya, Auguste Comte bahkan berupaya membangun
agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat positifnya. “Agama” baru
tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan
sumboyan “cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, dan kemajuan
sebagai tujuan.” Dan sebagai istilah ciptaannya yang terkenal adalah altruism, yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain. Lihat Asmoro Akhmadi, Loc. Cit.
[20] Lihat Biyanto, “Hubungan Agama dan Filsafat di Barat; Sebuah Survei Sejarah Lintas Periode” dalam http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-18.html
[21] Koento Wibisono, Op. Cit., hlm. 38
[22] K. Bertens, , Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jilid I, Jakarta: Gramedia 1981, hlm. 171
[23] Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 3 et.seq.
[24] Kunto Wibisono, Op. Cit. Hlm. 48
[25] Lihat “Fenomenologi, Hermeneutika dan Positivisme” dalam http://veggy.wetpaint.com/page
/Fenomenologi, +Hermeneutika+dan+Positivisme
No comments:
Post a Comment