Ada beberapa strategi penelitian dalam penelitian kualitatif, di
antaranya adalah studi kasus, etnografi, fenomenologi, ethnometodologi,
grounded theory, metode biografi, metode histories, clinical models, dan action
research. Namun yang akan dibahas kali ini ada lima dari delapan strategi
penelitian tersebut. Kelima strategi tersebut adalah studi kasus, etnografi,
fenomenologi, ethnometodologi, grounded theory, dan metode biografi.
1. Studi Kasus
Menurut Stake (dalam Denzin dan
Lincoln, 1991: 202) studi kasus merupakan salah satu strategi yang banyak
dilakukan dalam penelitian kualitatif, meskipun tidak semua penggunaan studi
kasus ini merupakan penelitian kualitatif. Fokus dari studi kasus ini melekat
pada paradigma yang bersifat naturalistic, holistic, kebudayaan, dan
fenomenologi.
Menurut Yin (1993), ada beberapa
jenis studi kasus, yaitu studi kasus yang bersifat exploratory, and descriptive.
Lebih lanjut, Yin mengatakan bahwa studi kasus ini lebih banyak burkutat upaya
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, bagaimana dan mengapa, serta pada tingkat
tertentu juga menjawab pertanyaan apa/apakah.
Sementara Stake (1995) mengemukakan
jenis studi kasus yang lainnya, yaitu pertama, studi kasus intrinsic yang
merupakan usaha penelitian untuk mengetahui “lebih dalam” mengenai suatu hal.
Jadi, studi kasus ini studi kasus initidak dimaksudkan untuk membangun teori.
Kedua, studi kasus instrumental yang bertujuan untuk menghasilkan temuan-temuan
baru yang dapat mempertajam suatu teori. Kasus di sini hanya merupakan alat
mencapai tujuan lain. Ketiga, studi kasus kolektif, yang merupakan perluasan
dari kasus instrumental untuk memperluas pemahaman dan menyumbang kepada
pembentukan teori.
2. Etnografi atau Etnosains
Etnosains ini muncul sebagai jawaban
terhadap persoalan penting dalam antropologi budaya yang muncul berkaitan
dengan bagaimana kita dapat melukiskan suatu kebudayaan yang dapat dibandingkan
satu sama lain. Kebutuhan untuk menjelaskan gejala ini secara ilmiah dan
sistematis telah mendorong pada ahli antropologi untuk melakukan studi
perbandingan (comparative study). Oleh karena itu tidak mengherankan apabila
antropologi budaya selalu menekankan pentingnya studi perbandingan.
Namun pada perkembangan selanjutnya, ternyata studi perbandingan ini
memiliki berbagai hambatan. Menurut Goodenough, ada tiga masalah pokok yang
menghambat studi perbandingan tersebut. Pertama,
mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di
kalangan ahli antropologi sendiri. Kedua,
masalah sifat data itu sendiri, artinya seberapa jauh data tersebut bisa
dikatakan melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda. Ketiga, menyangkut soal klasifikasi.
Beberapa masalah tersebut merupakan kelemahan cara pelukisan kebudayaan, oleh
karena itu diperlukan model-model yang lebih tepat. Salah satu model yang
kemudian dipakai adalah model dari linguistic, yakni dari fonologi.
Dalam fonologi dikenal dua cara penulisan bunyi bahasa, yaitu secara
fonemik dan fonetik. Fonemik menggunakan cara penulisan bunyi bahasa menurut
cara yang digunakan oleh si pemakai bahasa sedang fonetik adalah sebaliknya,
yakni memakai symbol-simbol bunyi bahasa yang ada pada si peneliti (ahli
bahasa) atau alphabet fonetia. Cara
pelukisan seperti itu dalam antropologi kemudian dikenal dengan pelukisan emik
dan enik.
Berkenaan dengan implikasi-implikasi terhadap masalah-masalah
antropologi, kita dapat menggolongkannya menjadi tiga kelompok. Masalah pertama
dipelajari oleh mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan merupakan “form of things that people havi in mind”,
yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai model untuk mengklasifikasikan
lingkungan atau situasi yang dihadapi.
Kelompok kedua adakah mereka yang mengerahkan perhatiannya pada bidang rule, atau aturan-aturan. Mereka
berpijak pada definisi kebudayaan, yaitu sebagai hal hal-hal yang harus
diketahui seseorang agar dapat mewujudkan tingkah laku (bertindak) menurut cara
yang dapat diterima oleh waga masyarakat tempat dia berada.
Kelompok ketiga, adalah ahli-ahli antropologi juga menggunakan definisi
kebudayaansebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”, yang
berarti alat untuk menafsirkan berbagai gejala yang ditemui. Dalam hal ini para
antropologi tersebut beranggapan bahwa tindakan manusia mempunyai berbagai
macam makna bagi pelakunya serta bagi orang lain.
Tiga macam arah penelitian inilah yang sekarang dikenal sebagai wujud dari
aliran etnosains. Etnosains ini lebih memusatkan perhatiannya pada usaha untuk
menemukan bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam
kehidupan. Dengan demikian etnosains berusaha mengorek peta kognitif dari suatu
masyarakat, yang terwujud dalam bahasa.
3. Fenomenologi
Istilah fenomenologi digunakan untuk
menandai suatu metode filsafat yang ditentukan oleh Edmund Husserl. Menurut
Leiter, Husserl berusaha mengembangkan suatu fenomenologi transcendental, yang
berbeda dengan fenomenologi eksistensial. Kedua fenomenologi tersebut sama-sama
memusatkan perhatian pada soal kesadaran (consciousness).
Sumbangan pemikiran Husserl lainnya
adalah konsepnya tentang natural attitude.
Konsep inilah yang menghubungkan filsafat fenomenologi dengan sosiologi. Lewat
konsep ini Husserl ingin mengemukakan bahwa Ego yang berada dalam situasi
tertentu biasanya menggunakan penalaran yang sifatnya praktis, seperti dalam
kehidupan sehari-hari. Natural attitude ini
disebut juga commonsense reality.
Oleh Husserl, natural attitude ini
dibedakan dengan theoretical attitude
dan mytical religious attitude.
Dengan perbedaan ini Husserl meletakkan salah satu ide pokok yang kemudian
dikembangkan oleh Shutz yang mengaitkan attitude dengan bisa tidaknya terjadi
proses interaksi social.
4. Etnometodologi
Tujuan Etnometodologi adalah mencari
dasar-dasar yang mendukung terwujudnya interaksi social, atau dengan kata lain
etnometodologi berusaha mendapatkan basic
rule-nya, yaitu resource we employ in
our mutual construction and negotiation of our everyday practical activities (Philipson,
1972: 148).
Karena etnometodologi terutama
ditujukan pada proses interaksi social serta bagaimana pelaku-pelaku yang
terlibat di dalamnya bisa berinteraksi dan memahami proses itu sendiri, maka
etnometodologi juga memperhatikan bahasa atau percakapan yang ada di antara
para pelaku. Anggapan para ahli di sini adalah bahwa bahasa merupakan alat
untuk membangun kenyataan social dan sarana untuk mengkomunikasikan
kenyataan-kenyataan social serta makna-makna yang dimiliki oleh para pelaku
yang terlibat dalam suatu interaksi
(Ahimsa-Putra, 1986: 116). Bahasa yang diperhatikan di sini adalah bahasa yang
alami yang berada dalam dalam konteks atau setting
tertentu. Percakapan tersebut kemudian dianalisis dari sini mereka berharap
mampu mengungkapkan mutual processes of
reality negotiating contructions and maintenance (Phillipson, 1972: 148).
5. Grounded Theory
Pada penelitian dengan menggunakan
strategi ini, peneliti langsung terjun ke lapangan tanpa membawa rancangan
konseptual, teori, dan hipotesis tertentu. Glesser dan Strauss mengetengahkan
dua jenis teori,vyaitu teori substantive tertentu, atau empiris, dari
pengamatan bersifat sosiologis, seperti perawatan pasien, pendidikan
professional, kenakalan atau penyimpangan adapt, hubungan ras, atau
organisasi/badan penelitian. Sedangkan teori formal deitemukan dan dibentuk
untuk kawasan kategori konseptual teoritik atau untuk bidang pengamatan
sosiologis formal atau konseptual, seperti tanda cacat, tingkah laku yang
menyimpang dari adapt, organisasi formal, sosialisasi, kekuasaan, dan kekuatan
social, atau mobilitas social.
Menurut Schlegel dan Stern, ada tiga
elemen dasar dari grounded theory, yang masing-masing tidak terpisahkan satu
dengan yang lain, yaitu (1) konsep; (2) kategori; (3) proposisi.
1)
Konsep
Dalam frounded theory, teori dibangun dari konsep, bukan langsung dari
data itu sendiri. Sedangkan konsep diperoleh melalui konseptualitas dari data.
Tipe konsep yang harus dirumuskan ada dua cirri pokok, yaitu (1) konsep itu
haruslah analitis-telah cukup digeneralisasikan guna merancang dan menentukan
cirri-ciri kesatuan yang kongkrit, tetapi bukan kesatuan itu sendiri; dan (2)
konsep juga harus bisa dirasakanartinya bisa mengemukakan gambaran penuh arti,
ditambah dengan ilustrasi yang tepat, yang memudahkan orang bisa menangkap
referensinya dari segi pengalamannya sendiri.
2)
Kategori
Kategori adalah unsure konseptual dari suatu teori, sedangkan kawasannya
adalah aspek atu unsure suatu kategori. Kategori maupun kawasannya adalah
konsep yang ditujukan oleh data yang pada mulanya menyatakannya, maka kategori
dan kawasannya ini akan tetap, jadi tidak akan berubah atau menjadi lebih jelas
ataupun meniadakan.
3)
Proposisi atau Hipotesis
Pada elemen ketiga ini, pada awalnya Glaser dan Strauss (1967) menyebut
sebagai hipotesis, tetapi istilah proposisi tampaknya dianggap paling tepat.
Hal ini dikarenakan disadari bahwa proposisi menunjukkan adanya hubungan
konseptual, sedangkan hipotesis lebih menunjuk pada hubungan terukur. Dalam grounded theory yang dihasilkan adalah
hubungan konseptual, bukan hubungan terukur sehingga digunakan istilah-istilah
proposisi. Hipotesis dalam penelitian grounded adalah suatu pernyataan ilmiah
yang terus dikembangkan.
6. Metode Biografi
Dalam siklus hidup seseorang, dari
kelahiran hingga kematian, berbagai kejadian dialami oleh individu. Pengalaman
ini merupakan unsure yang sangat menarik untuk diketahui karena ia bersifat
akumulatif yang tidak hanya menjelaskan apa saja yang dialami oleh seseorang,
tetapi setting di mana kejadian dan pengalaman itu berlangsung. Metode biografi
berusaha merekam kembali pengalaman yang terakumulasi tersebut. Biografi
karenanya merupakan sejarah individual yang menyangkut berbagai tahap kehidupan
dan pengalaman yang dialami dari waktu ke waktu.
Biografi ini memiliki banyak varian,
antara lain potret, profil, memoir, life
history, autobiografi, dan diary. Varian semacam ini tidak hanya
menunjukkan cara di dalam melihat pengalaman yang terakumulasi tersebut, tetapi
juga memperlihatkan perluasan dari metode ini sebagai metode yang penting dalam
penelitian social.
Bahan yang digunakan dalam biografi
ini adalah dokumen (termasuk surat-surat pribadi) dan hasil wawancara, tidak
hanya dengan orang yang bersangkutan, tetapi juga dengan orang yang
disekelilingnya. Dengan cara ini pula individu dapat dikendalikan sekaligus
melihat data dari dimensi yang lain karena biografi bagaimanapun juga merupakan
bagian dari proses representasi social.
No comments:
Post a Comment