Sunday 1 April 2012

Strategi Penelitian Kualitatif


Ada beberapa strategi penelitian dalam penelitian kualitatif, di antaranya adalah studi kasus, etnografi, fenomenologi, ethnometodologi, grounded theory, metode biografi, metode histories, clinical models, dan action research. Namun yang akan dibahas kali ini ada lima dari delapan strategi penelitian tersebut. Kelima strategi tersebut adalah studi kasus, etnografi, fenomenologi, ethnometodologi, grounded theory, dan metode biografi.

1.  Studi Kasus
            Menurut Stake (dalam Denzin dan Lincoln, 1991: 202) studi kasus merupakan salah satu strategi yang banyak dilakukan dalam penelitian kualitatif, meskipun tidak semua penggunaan studi kasus ini merupakan penelitian kualitatif. Fokus dari studi kasus ini melekat pada paradigma yang bersifat naturalistic, holistic, kebudayaan, dan fenomenologi.
            Menurut Yin (1993), ada beberapa jenis studi kasus, yaitu studi kasus yang bersifat exploratory, and descriptive. Lebih lanjut, Yin mengatakan bahwa studi kasus ini lebih banyak burkutat upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, bagaimana dan mengapa, serta pada tingkat tertentu juga menjawab pertanyaan apa/apakah.
            Sementara Stake (1995) mengemukakan jenis studi kasus yang lainnya, yaitu pertama, studi kasus intrinsic yang merupakan usaha penelitian untuk mengetahui “lebih dalam” mengenai suatu hal. Jadi, studi kasus ini studi kasus initidak dimaksudkan untuk membangun teori. Kedua, studi kasus instrumental yang bertujuan untuk menghasilkan temuan-temuan baru yang dapat mempertajam suatu teori. Kasus di sini hanya merupakan alat mencapai tujuan lain. Ketiga, studi kasus kolektif, yang merupakan perluasan dari kasus instrumental untuk memperluas pemahaman dan menyumbang kepada pembentukan teori.

2.  Etnografi atau Etnosains
            Etnosains ini muncul sebagai jawaban terhadap persoalan penting dalam antropologi budaya yang muncul berkaitan dengan bagaimana kita dapat melukiskan suatu kebudayaan yang dapat dibandingkan satu sama lain. Kebutuhan untuk menjelaskan gejala ini secara ilmiah dan sistematis telah mendorong pada ahli antropologi untuk melakukan studi perbandingan (comparative study). Oleh karena itu tidak mengherankan apabila antropologi budaya selalu menekankan pentingnya studi perbandingan.
Namun pada perkembangan selanjutnya, ternyata studi perbandingan ini memiliki berbagai hambatan. Menurut Goodenough, ada tiga masalah pokok yang menghambat studi perbandingan tersebut. Pertama, mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli antropologi sendiri. Kedua, masalah sifat data itu sendiri, artinya seberapa jauh data tersebut bisa dikatakan melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda. Ketiga, menyangkut soal klasifikasi. Beberapa masalah tersebut merupakan kelemahan cara pelukisan kebudayaan, oleh karena itu diperlukan model-model yang lebih tepat. Salah satu model yang kemudian dipakai adalah model dari linguistic, yakni dari fonologi.
Dalam fonologi dikenal dua cara penulisan bunyi bahasa, yaitu secara fonemik dan fonetik. Fonemik menggunakan cara penulisan bunyi bahasa menurut cara yang digunakan oleh si pemakai bahasa sedang fonetik adalah sebaliknya, yakni memakai symbol-simbol bunyi bahasa yang ada pada si peneliti (ahli bahasa) atau alphabet fonetia. Cara pelukisan seperti itu dalam antropologi kemudian dikenal dengan pelukisan emik dan enik.
Berkenaan dengan implikasi-implikasi terhadap masalah-masalah antropologi, kita dapat menggolongkannya menjadi tiga kelompok. Masalah pertama dipelajari oleh mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan merupakan “form of things that people havi in mind”, yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi yang dihadapi.
Kelompok kedua adakah mereka yang mengerahkan perhatiannya pada bidang rule, atau aturan-aturan. Mereka berpijak pada definisi kebudayaan, yaitu sebagai hal hal-hal yang harus diketahui seseorang agar dapat mewujudkan tingkah laku (bertindak) menurut cara yang dapat diterima oleh waga masyarakat tempat dia berada.
Kelompok ketiga, adalah ahli-ahli antropologi juga menggunakan definisi kebudayaansebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving”  dan “dealing with circumstances”, yang berarti alat untuk menafsirkan berbagai gejala yang ditemui. Dalam hal ini para antropologi tersebut beranggapan bahwa tindakan manusia mempunyai berbagai macam makna bagi pelakunya serta bagi orang lain.
Tiga macam arah penelitian inilah yang sekarang dikenal sebagai wujud dari aliran etnosains. Etnosains ini lebih memusatkan perhatiannya pada usaha untuk menemukan bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam kehidupan. Dengan demikian etnosains berusaha mengorek peta kognitif dari suatu masyarakat, yang terwujud dalam bahasa.

3.  Fenomenologi
            Istilah fenomenologi digunakan untuk menandai suatu metode filsafat yang ditentukan oleh Edmund Husserl. Menurut Leiter, Husserl berusaha mengembangkan suatu fenomenologi transcendental, yang berbeda dengan fenomenologi eksistensial. Kedua fenomenologi tersebut sama-sama memusatkan perhatian pada soal kesadaran (consciousness).
            Sumbangan pemikiran Husserl lainnya adalah konsepnya tentang natural attitude. Konsep inilah yang menghubungkan filsafat fenomenologi dengan sosiologi. Lewat konsep ini Husserl ingin mengemukakan bahwa Ego yang berada dalam situasi tertentu biasanya menggunakan penalaran yang sifatnya praktis, seperti dalam kehidupan sehari-hari. Natural attitude ini disebut juga commonsense reality. Oleh Husserl, natural attitude ini dibedakan dengan theoretical attitude dan mytical religious attitude. Dengan perbedaan ini Husserl meletakkan salah satu ide pokok yang kemudian dikembangkan oleh Shutz yang mengaitkan attitude dengan bisa tidaknya terjadi proses interaksi social.

4.  Etnometodologi
            Tujuan Etnometodologi adalah mencari dasar-dasar yang mendukung terwujudnya interaksi social, atau dengan kata lain etnometodologi berusaha mendapatkan basic rule-nya, yaitu resource we employ in our mutual construction and negotiation of our everyday practical activities (Philipson, 1972: 148).
            Karena etnometodologi terutama ditujukan pada proses interaksi social serta bagaimana pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya bisa berinteraksi dan memahami proses itu sendiri, maka etnometodologi juga memperhatikan bahasa atau percakapan yang ada di antara para pelaku. Anggapan para ahli di sini adalah bahwa bahasa merupakan alat untuk membangun kenyataan social dan sarana untuk mengkomunikasikan kenyataan-kenyataan social serta makna-makna yang dimiliki oleh para pelaku yang terlibat  dalam suatu interaksi (Ahimsa-Putra, 1986: 116). Bahasa yang diperhatikan di sini adalah bahasa yang alami yang berada dalam dalam konteks atau setting tertentu. Percakapan tersebut kemudian dianalisis dari sini mereka berharap mampu mengungkapkan mutual processes of reality negotiating contructions and maintenance (Phillipson, 1972: 148).

5.  Grounded Theory
            Pada penelitian dengan menggunakan strategi ini, peneliti langsung terjun ke lapangan tanpa membawa rancangan konseptual, teori, dan hipotesis tertentu. Glesser dan Strauss mengetengahkan dua jenis teori,vyaitu teori substantive tertentu, atau empiris, dari pengamatan bersifat sosiologis, seperti perawatan pasien, pendidikan professional, kenakalan atau penyimpangan adapt, hubungan ras, atau organisasi/badan penelitian. Sedangkan teori formal deitemukan dan dibentuk untuk kawasan kategori konseptual teoritik atau untuk bidang pengamatan sosiologis formal atau konseptual, seperti tanda cacat, tingkah laku yang menyimpang dari adapt, organisasi formal, sosialisasi, kekuasaan, dan kekuatan social, atau mobilitas social.
            Menurut Schlegel dan Stern, ada tiga elemen dasar dari grounded theory, yang masing-masing tidak terpisahkan satu dengan yang lain, yaitu (1) konsep; (2) kategori; (3) proposisi.
1)      Konsep
Dalam frounded theory, teori dibangun dari konsep, bukan langsung dari data itu sendiri. Sedangkan konsep diperoleh melalui konseptualitas dari data. Tipe konsep yang harus dirumuskan ada dua cirri pokok, yaitu (1) konsep itu haruslah analitis-telah cukup digeneralisasikan guna merancang dan menentukan cirri-ciri kesatuan yang kongkrit, tetapi bukan kesatuan itu sendiri; dan (2) konsep juga harus bisa dirasakanartinya bisa mengemukakan gambaran penuh arti, ditambah dengan ilustrasi yang tepat, yang memudahkan orang bisa menangkap referensinya dari segi pengalamannya sendiri.
2)      Kategori
Kategori adalah unsure konseptual dari suatu teori, sedangkan kawasannya adalah aspek atu unsure suatu kategori. Kategori maupun kawasannya adalah konsep yang ditujukan oleh data yang pada mulanya menyatakannya, maka kategori dan kawasannya ini akan tetap, jadi tidak akan berubah atau menjadi lebih jelas ataupun meniadakan.
3)      Proposisi atau Hipotesis
Pada elemen ketiga ini, pada awalnya Glaser dan Strauss (1967) menyebut sebagai hipotesis, tetapi istilah proposisi tampaknya dianggap paling tepat. Hal ini dikarenakan disadari bahwa proposisi menunjukkan adanya hubungan konseptual, sedangkan hipotesis lebih menunjuk pada hubungan terukur.  Dalam grounded theory yang dihasilkan adalah hubungan konseptual, bukan hubungan terukur sehingga digunakan istilah-istilah proposisi. Hipotesis dalam penelitian grounded adalah suatu pernyataan ilmiah yang terus dikembangkan.

6.  Metode Biografi
            Dalam siklus hidup seseorang, dari kelahiran hingga kematian, berbagai kejadian dialami oleh individu. Pengalaman ini merupakan unsure yang sangat menarik untuk diketahui karena ia bersifat akumulatif yang tidak hanya menjelaskan apa saja yang dialami oleh seseorang, tetapi setting di mana kejadian dan pengalaman itu berlangsung. Metode biografi berusaha merekam kembali pengalaman yang terakumulasi tersebut. Biografi karenanya merupakan sejarah individual yang menyangkut berbagai tahap kehidupan dan pengalaman yang dialami dari waktu ke waktu.
            Biografi ini memiliki banyak varian, antara lain potret, profil, memoir, life history, autobiografi, dan diary. Varian semacam ini tidak hanya menunjukkan cara di dalam melihat pengalaman yang terakumulasi tersebut, tetapi juga memperlihatkan perluasan dari metode ini sebagai metode yang penting dalam penelitian social.
            Bahan yang digunakan dalam biografi ini adalah dokumen (termasuk surat-surat pribadi) dan hasil wawancara, tidak hanya dengan orang yang bersangkutan, tetapi juga dengan orang yang disekelilingnya. Dengan cara ini pula individu dapat dikendalikan sekaligus melihat data dari dimensi yang lain karena biografi bagaimanapun juga merupakan bagian dari proses representasi social.

0 comments:

Post a Comment

Link Within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Ads

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan